Kamis, 26 November 2009

Hidayah Itu Mahal Wahai Saudaraku. . .

Pernahkah terpikirkan bahwa kita tengah berada dalam anugerah yang tiada ternilai dari Dzat yang memiliki kerajaan langit dan bumi, sementara begitu banyak orang yang dihalangi untuk memperolehnya?

Kita bisa tahu ajaran yang benar dari agama Islam ini. Tahu ini haq, itu batil… Ini tauhid, itu syirik…. Ini sunnah, itu bid’ah… Lalu kita dimudahkan untuk mengikuti yang haq dan meninggalkan yang batil. Sementara, banyak orang tidak mengerti mana yang benar dan mana yang sesat, atau ada yang tahu tapi tidak dimudahkan baginya untuk mengamalkan al-haq, malah ia gampang berbuat kebatilan.

Kita dapat berjalan mantap di bawah cahaya yang terang-benderang, sementara banyak orang yang tertatih meraba dalam kegelapan.

Kita tahu apa tujuan hidup kita dan kemana kita kan menuju. Sementara, ada orang-orang yang tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka hidup. Bahkan kebanyakan mereka menganggap mereka hidup hanya untuk dunia, sekadar makan, minum, dan bersenang-senang di dalamnya.

Apa namanya semua yang kita miliki ini, wahai saudariku, kalau bukan anugerah terbesar, nikmat yang tiada ternilai? Inilah hidayah dan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada jalan-Nya yang lurus.
Dalam Tanzil-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاللهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 213)

Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya bahwa hidayah di sini maknanya adalah petunjuk dan taufik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan hidayah ini kepada orang yang pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu yang dikaitkan dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala maka mesti mengikuti hikmah-Nya. Siapa yang beroleh hidayah maka memang ia pantas mendapatkannya. (Tafsir Al-Qur’anil Karim, 3/31)

Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan ayat:
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
beliau berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak meletakkan hidayah di dalam hati kecuali kepada orang yang pantas mendapatkannya. Adapun orang yang tidak pantas memperolehnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkannya beroleh hidayah tersebut. Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Memiliki hikmah, Maha Mulia lagi Maha Tinggi, tidak memberikan hidayah hati kepada setiap orang, namun hanya diberikannya kepada orang yang diketahui-Nya berhak mendapatkannya dan dia memang pantas. Sementara orang yang Dia ketahui tidak pantas beroleh hidayah dan tidak cocok, maka diharamkan dari hidayah tersebut.”
Asy-Syaikh yang mulia melanjutkan, “Di antara sebab terhalangnya seseorang dari beroleh hidayah adalah fanatik terhadap kebatilan dan semangat kesukuan, partai, golongan, dan semisalnya. Semua ini menjadi sebab seseorang tidak mendapatkan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang kebenaran telah jelas baginya namun tidak menerimanya, ia akan dihukum dengan terhalang dari hidayah. Ia dihukum dengan penyimpangan dan kesesatan, dan setelah itu ia tidak dapat menerima al-haq lagi. Maka di sini ada hasungan kepada orang yang telah sampai al-haq kepadanya untuk bersegera menerimanya. Jangan sampai ia menundanya atau mau pikir-pikir dahulu, karena kalau ia menundanya maka ia memang pantas diharamkan/dihalangi dari hidayah tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ
“Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati-hati mereka.” (Ash-Shaf: 5)

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada awal kalinya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al-An’am: 110) [I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/357]

Perlu engkau ketahui, hidayah itu ada dua macam:
1. Hidayah yang bisa diberikan oleh makhluk, baik dari kalangan para nabi dan rasul, para da’i atau selain mereka. Ini dinamakan hidayah irsyad (bimbingan), dakwah dan bayan (keterangan). Hidayah inilah yang disebutkan dalam ayat:
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) benar-benar memberi hidayah/petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)

2. Hidayah yang hanya bisa diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak selain-Nya. Ini dinamakan hidayah taufik. Hidayah inilah yang ditiadakan pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih selain beliau, dalam ayat:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) tidak dapat memberi hidayah/petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Qashash: 56)

Yang namanya manusia, baik ia da’i atau selainnya, hanya dapat membuka jalan di hadapan sesamanya. Ia memberikan penerangan dan bimbingan kepada mereka, mengajari mereka mana yang benar, mana yang salah. Adapun memasukkan orang lain ke dalam hidayah dan memasukkan iman ke dalam hati, maka tak ada seorang pun yang kuasa melakukannya, karena ini hak Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. (Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Ibnu Utsaimin, sebagaimana dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il beliau, 9/340-341)

Saudariku, bersyukurlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika engkau dapati dirimu termasuk orang yang dipilih-Nya untuk mendapatkan dua hidayah yang tersebut di atas. Karena berapa banyak orang yang telah sampai kepadanya hidayah irsyad, telah sampai padanya dakwah, telah sampai padanya al-haq, namun ia tidak dapat mengikutinya karena terhalang dari hidayah taufik. Sementara dirimu, ketika tahu al-haq dari al-batil, segera engkau pegang erat yang haq tersebut dan engkau empaskan kebatilan sejauh mungkin. Berarti hidayah taufik dari Rabbul Izzah menyertaimu. Tinggal sekarang, hidayah itu harus engkau jaga, karena ia sangat bernilai dan sangat penting bagi kehidupan kita. Ia harus menyertai kita bila ingin selamat di dunia, terlebih di akhirat. Bagaimana tidak? Sementara kita di setiap rakaat dalam shalat diperintah untuk memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hidayah kepada jalan yang lurus.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
“Tunjukilah (berilah hidayah) kami kepada jalan yang lurus.” (Al-Fatihah: 6)

Bila timbul pertanyaan, bagaimana seorang mukmin meminta hidayah di setiap waktu shalatnya dan di luar shalatnya, sementara mukmin berarti ia telah beroleh hidayah? Bukankah dengan begitu berarti ia telah meminta apa yang sudah ada pada dirinya?
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu memberikan jawabannya: Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing hamba-hamba-Nya untuk meminta hidayah, karena setiap insan membutuhkannya siang dan malam. Seorang hamba butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala setiap saat untuk mengokohkannya di atas hidayah, agar hidayah itu bertambah dan terus-menerus dimilikinya. Karena seorang hamba tidak dapat memberikan kemanfaatan dan tidak dapat menolak kemudaratan dari dirinya, kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun membimbing si hamba agar di setiap waktu memohon kepada-Nya pertolongan, kekokohan, dan taufik. Orang yang bahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memohon hidayah, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan jaminan untuk mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya di sepanjang malam dan di pengujung siang. Terlebih lagi bila si hamba dalam kondisi terjepit dan sangat membutuhkan bantuan-Nya. Ini sebanding dengan firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ءَامِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya…” (An-Nisa’: 136)

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang-orang yang telah beriman agar tetap beriman. Ini bukanlah perintah untuk melakukan sesuatu yang belum ada, karena yang dimaukan dengan perintah beriman di sini adalah hasungan agar tetap tsabat (kokoh), terus-menerus dan tidak berhenti melakukan amalan-amalan yang dapat membantu seseorang agar terus di atas keimanan. Wallahu a’lam. (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/38)

Berbahagialah dengan hidayah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadamu dan jangan biarkan hidayah itu berlalu darimu. Mintalah selalu kekokohan dan keistiqamahan di atas iman kepada Dzat Yang Maha Mengabulkan doa. Teruslah mempelajari agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hadirilah selalu majelis ilmu. Dekatlah dengan ulama, cintai mereka karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bergaullah dengan orang-orang shalih dan jauhi orang-orang jahat yang dapat merancukan pemahaman agamamu serta membuatmu terpikat dengan dunia. Semua ini sepantasnya engkau lakukan dalam upaya menjaga hidayah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepadamu. Satu lagi yang penting, jangan engkau jual agamamu karena menginginkan dunia, karena ingin harta, tahta, dan karena cinta kepada lawan jenis. Sekali-kali janganlah engkau kembali ke belakang. Kembali kepada masa lalu yang suram karena jauh dari hidayah dan bimbingan agama. Ingatlah:
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)

Kata Al-Imam Al-’Allamah Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi rahimahullahu, “Kebenaran dan kesesatan itu tidak ada perantara antara keduanya. Maka, siapa yang luput dari kebenaran mesti ia jatuh dalam kesesatan.” (Mahasinut Ta’wil, 6/24)
Lalu apa persangkaanmu dengan orang yang tahu kebenaran dari kebatilan, semula ia berjalan di atas kebenaran tersebut, berada di dalam hidayah, namun kemudian ia futur (patah semangat, tidak menetapi kebenaran lagi, red.) dan lisan halnya mengatakan ‘selamat tinggal kebenaran’? Wallahul Musta’an. Sungguh setan telah berhasil menipu dan mengempaskannya ke jurang yang sangat dalam.

Ya Allah, wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu, di atas ketaatan kepada-Mu. Amin ya Rabbal ‘alamin ….

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=801

Kiamat 2012 Mengguncang Aqidah


بسم الله الرحمن الرحيم

حفظه الله تعالى وغفر له ولوالديه ولجميع المسلمين

Kiamat 2012 mengguncang dunia, demikian headline di beberapa media massa akhir-akhir ini, ternyata isi beritanya tentang sambutan gegap gempita dari masyarakat dunia terhadap sebuah film yang bercerita tentang terjadinya kiamat pada tahun 2012 (alhamdulillah ana tidak ikut nonton). Film ini diangkat dari ramalan bangsa Maya kuno paganis yang berasal dari Meksiko, bahwa kiamat akan terjadi pada 21 Desember 2012.

Berbicara tentang ramalan kiamat sebenarnya bukan hal baru, banyak sekali paranormal dan tukang ramal sejak dulu telah menyesatkan masyarakat dengan ramalan waktu terjadinya kiamat, namun satu yang pasti: semua ramalan tersebut tidak pernah terbukti sama sekali. Anehnya masih banyak juga yang mau percaya, bahkan rela merogoh kocek hanya demi menonton film tersebut.

Meski kami tahu, alhamdulillah kaum muslimin pada umumnya tidak mudah terpengaruh untuk percaya dengan ramalan-ramalan tersebut, bahkan ada seorang muslim yang sangat awam mengatakan, “kiamat di tangan Allah bukan di tangan orang-orang Hollywood”.

Akan tetapi kewajiban kita sebagai muslim untuk saling menasihati, mengingatkan saudara-saudara kita, ternyata ada bahaya besar di balik film tersebut, yaitu bahaya atas aqidah seorang muslim.

Ilmu ghaib hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala

Apa yang akan terjadi di masa depan temasuk perkara ghaib, tidak ada yang memiliki ilmunya, baik malaikat, manusia maupun jin, kecuali Allah Ta’ala. Ini adalah salah satu pokok keimanan yang harus diyakini oleh setiap hamba.

Maka termasuk kesyirikan:
1. Apabila seorang mengaku mengetahui ilmu ghaib,
2. Apabila seorang mempercayai ada selain Allah yang mengetahui ilmu ghaib.
Karena pengetahuan tentang ilmu ghaib merupakan kekhususan bagi Allah Tabaraka wa Ta’ala. Sebagaimana yang Allah Ta’ala tegaskan dalam banyak ayat, diantaranya:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“Katakanlah, “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui hal ghaib, kecuali Allah Ta’ala” Dan mereka tidak mengetahui bilakah mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml: 65)

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya melainkan Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan dan tidak sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahui, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (lauhul mahfudz)” (QS. Al-An`am: 59)

Hukum mempercayai ramalan

Kewajiban setiap hamba untuk mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang mengetahui ilmu ghaib. Oleh karenanya, barangsiapa yang mempercayai ramalan dukun, paranormal, tukang ramal ataupun ramalan bintang tentang masa depan berarti dia telah menyekutukan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam menegaskan:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فقد كفر بما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم

“Barangsiapa yang mendatangi paranormal lalu membenarkan ucapannya, maka ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad –shallallahu’alaihi wa sallam-.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib no. 3047)

Bahkan sekedar bertanya tanpa membenarkan atau mempercayai ucapan paranormal tersebut mengakibatkan tertolaknya sholat seseorang selama 40 hari, tanpa menggugurkan kewajiban sholat dari dirinya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang mendatangi paranormal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima sholatnya selama 40 malam.” (HR. Muslim no. 5957)

Dan termasuk dalam hal ini apabila seorang membaca ramalan-ramalan bintang (zodiak), feng shui, primbon, dan semisalnya yang biasa tersebar di media massa dan ia mempercayainya maka itu adalah kesyirikan kepada Allah. Jika sekedar membacanya tanpa meyakininya maka termasuk dosa besar (lihat At-Tamhid Li Syarhi Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Sholih Alu Syaikh hafizhahullah, hlm. 489-490).

Kapan terjadi kiamat termasuk ilmu ghaib, hanya Allah Tabaraka wa Ta’ala yang memiliki ilmunya

Tidak diragukan lagi bahwa pengetahuan tentang waktu terjadinya kiamat adalah termasuk perkara ghaib, hanya Allah Ta’ala saja yang tahu kapan terjadinya kiamat, tidak ditampakkan kepada makhluk-Nya karena suatu hikmah. Allah Ta’ala berfirman:

يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا

“Mereka bertanya kepadamu tentang (kapan datangnya) hari kiamat. Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang kapan datangnya hari kiamat itu hanyalah di sisi Allah.” Dan tahukah kamu (wahai Muhammad) boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat waktunya.” (QS. Al-Ahzab: 63)

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Rabbku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan secara tiba-tiba.” Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.” (QS Al-A’raf: 187)

Bahkan malaikat yang paling mulia sekalipun, yaitu Jibril ‘alaihissalam dan Rasul yang paling mulia, yaitu Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam juga tidak mengetahui kapan terjadinya kiamat.

Sehingga ketika Jibril datang dalam bentuk seorang laki-laki dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, “kapan terjadinya kiamat”, sebuah pertanyaan untuk mengajarkan kepada para sahabat bahwa tidak ada yang mengetahui kapan terjadinya kiamat kecuali Allah ‘Azza wa Jalla, maka dijawab oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam: “tidaklah orang yang ditanya lebih tahu dari yang bertanya.” (sebagaimana dalam hadits yang panjang, yang dikenal dengan istilah hadits Jibril, diriwayatkan oleh al-Imam Muslim, lihat hadits Arba’in ke-2).

Bentuk Kekafiran dari sisi lain: Mendustakan hadits-hadits tentang tanda-tanda kiamat

Termasuk bagian dari rukun iman yang kelima, yaitu beriman dengan hari kiamat adalah mengimani terjadinya tanda-tanda kiamat. Hal tersebut telah dijelaskan dalam banyak ayat dan hadits yang shahih, bahkan sebagiannya mutawatir. Diantaranya dalam hadits Hudzaifah bin Asid al-Ghifari radhiyallahu’anhu:

اطَّلَعَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- عَلَيْنَا وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ فَقَالَ مَا تَذَاكَرُونَ. قَالُوا نَذْكُرُ السَّاعَةَ. قَالَ إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍ. فَذَكَرَ الدُّخَانَ وَالدَّجَّالَ وَالدَّابَّةَ وَطُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ -صلى الله عليه وسلم- وَيَأْجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَثَلاَثَةَ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنَ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan kami ketika sedang berbincang-bincang. Beliau berkata, “Apa yang sedang kalian perbincangkan?” Kami menjawab, “Kami sedang berbincang-bincang tentang hari kiamat.” Beliau bersabda:

“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga kalian melihat sepuluh tanda.” Lalu beliau menyebutkan, “[1] Dukhan (asap yang meliputi manusia), [2] Keluarnya Dajjal, [3] Daabah (binatang yang bisa berbicara), [4] terbitnya matahari dari barat, [5] turunnya ‘Isa bin Maryam ‘alaihimassalam, [6] keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, [7,8,9] terjadinya tiga longsor besar yaitu di timur, di barat dan di jazirah Arab, yang terakhir adalah [10] keluarnya api dari Yaman yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya mereka”.” (HR. Muslim no. 7467)

Dari kesepuluh tanda-tanda kubro ini yang paling jelas pengingkarannya pada tanda yang kelima, yaitu tentang turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, karena dalam hadits yang shahih diterangkan bahwa lama tinggal Nabi ‘Isa ‘alaihissalam di bumi adalah selama 40 tahun, kemudian beliau meninggal dunia dan disholati oleh kaum muslimin (sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2182).

Sedangkan ramalan kiamat bangsa Maya akan terjadi pada 21 Desember 2012, berarti jaraknya tinggal 3 tahun lebih sedikit, padahal Nabi ‘Isa ‘alaihissalam akan tinggal di bumi selama 40 tahun. Ini jelas penyesatan dan pendustaan secara tidak langsung terhadap hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang mulia, satu dari dua wahyu Allah (al-Qur’an dan al-Hadits).

Demikian pula, termasuk tanda kubro sebelum turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam, adalah diangkatnya Imam Mahdi sebagai pemimpin tunggal kaum muslimin dan beliau akan berkuasa selama 7 atau 8 tahun (dan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam turun pada masa kepemimpinan beliau) (sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Hakim dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 711).

Juga tidak akan terjadi kiamat sebelum kaum muslimin mengalahkan kaum penjajah dan teroris sejati: yahudi. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقَاتِلَ الْمُسْلِمُونَ الْيَهُودَ فَيَقْتُلُهُمُ الْمُسْلِمُونَ حَتَّى يَخْتَبِئَ الْيَهُودِىُّ مِنْ وَرَاءِ الْحَجَرِ وَالشَّجَرِ فَيَقُولُ الْحَجَرُ أَوِ الشَّجَرُ يَا مُسْلِمُ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا يَهُودِىٌّ خَلْفِى فَتَعَالَ فَاقْتُلْهُ. إِلاَّ الْغَرْقَدَ فَإِنَّهُ مِنْ شَجَرِ الْيَهُودِ

“Tidak akan terjadi kiamat sebelum kaum muslimin memerangi orang Yahudi. Maka kaum muslimin membunuh mereka sampai orang Yahudi bersembunyi di belakang batu dan pohon; maka batu dan pohon itu berkata, “Wahai Muslim, wahai hamba Allah, inilah orang Yahudi di belakangku, kemarilah dan bunuhlah,” kecuali pohon gharqad, karena sesungguhnya ia adalah pohonnya Yahudi.” (HR. Muslim no. 7523)

Sebagaimana kaum muslimin pada akhir zaman akan menundukkan semua kekuatan orang-orang kafir di muka bumi ini. Dan sudah dimaklumi bahwa pembuat film ini adalah seorang Yahudi, sehingga tidak berlebihan kalau kita bertanya-tanya, apakah ini gambaran ketakutan mereka kepada kaum muslimin, sekaligus ingin memadamkan semangat jihad plus mengkaburkan aqidah kaum muslimin!?

Dan masih banyak hadits lain tentang tanda-tanda kiamat yang mungkin didustakan dalam ramalan tersebut.

Sejatinya, ketika terjadi kiamat tidak ada lagi orang beriman di muka bumi ini, karena Allah Ta’ala telah mewafatkan semua orang yang beriman sebelum terjadinya kiamat. Sehingga yang menyaksikan terjadinya kiamat hanyalah orang-orang kafir, bahkan mereka adalah seburuk-buruknya manusia yang tersisa di muka bumi ini. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مِنْ شِرَارِ النَّاسِ مَنْ تُدْرِكُهُ السَّاعَةُ وَهُمْ أَحْيَاءٌ وَمَنْ يَتَّخِذُ الْقُبُورَ مَسَاجِدَ

“Sesungguhnya diantara makhluk yang paling buruk (di sisi Allah) adalah orang yang masih hidup ketika terjadinya kiamat dan orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hlm. 216)

Faidah: Yang dimaksud dengan menjadikan kuburan sebagai masjid mencakup dua makna, pertama: shalat di pekuburan, kedua: membangun masjid di pekuburan (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Sholih al-Fauzan hafizhahullah 1/298).

Kesimpulan

Mempercayai ramalan terjadinya kiamat pada tahun 2012 termasuk kesyirikan dan kekafiran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lalu bagaimana mungkin seorang mukmin bisa terhibur dengan film, maupun acara-acara perdukunan seperti The Master dan lainnya yang berdasarkan pada sesuatu yang sangat dimurkai Allah!?

Padahal setiap mukmin tidak saja dituntut untuk menjauhi kekafiran, tapi juga dituntut untuk membenci kekafiran tersebut dan pelaku-pelakunya. Inilah satu permasalahan penting dalam aqidah seorang muslim yang dikenal dengan istilah al-wala’ wal bara’, kecintaan dan permusuhan. Bahwa cinta seorang mukmin kepada iman dan orang-orang yang beriman dan kebenciannya kepada kekafiran dan orang-orang kafir. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah memberikan teladan yang baik dalam hal ini:

قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya; ketika mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian serta telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian beriman kepada Allah saja.” (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Sehingga termasuk kekafiran:
1. Apabila seorang mencintai atau meridhoi kekafiran meskipun ia tidak melakukannya,
2. Apabila seorang mencintai orang kafir karena kekafirannya.
Adapun seorang yang mencintai orang kafir bukan karena kekafirannya, seperti karena dunia dan lainnya, maka tidak termasuk kekafiran, namun termasuk dosa besar (lihat Syarah Tsalatsatul Ushul, Asy-Syaikh Sholih Alu Syaikh hafizhahullah, hlm. 27)

Maka sangat dikhawatirkan, hadirnya kita untuk menonton dan mencari hiburan dari acara-acara kekafiran termasuk dalam bentuk meridhoi kekafiran tersebut.

Di sisi lain, menonton film tersebut minimalnya termasuk perbuatan sia-sia dan membelanjakan harta untuk kesia-siaan, padahal masih banyak hal-hal positif yang bisa kita lakukan untuk kebaikan dunia dan akhirat kita. Demikian pula jika kita renungkan sejenak, tentang harta yang kita keluarkan hanya demi suatu hiburan belaka, padahal di negeri kita sendiri terlalu mudah untuk bertemu peminta-minta setiap harinya di jalan-jalan negeri kita dan di belahan bumi lain banyak saudara-saudara kita kaum muslimin, seperti di Palestina, Afganistan, Iraq, dan lainnya yang sangat membutuhkan uluran tangan kita, karena sekedar untuk mendapatkan sesuap nasi terlalu sulit bagi mereka disebabkan penjajahan yang dilakukan oleh orang-orang kafir, sementara kita di sini, menghambur-hamburkan harta untuk hiburan yang tidak syar’i!?

Adapun bagi mereka yang ingin mengambil hikmah atau pelajaran dari film, novel, nyanyian (baca: nasyid) dan yang sejenisnya, ketahuilah itu termasuk tipu daya setan untuk menjauhkan kita dari al-Qur’an dan cabang-cabang ilmunya yang sangat banyak. Barangsiapa yang tidak bisa mengambil pelajaran dari al-Qur’an maka bagaimana mungkin ia bisa mengambil dari selainnya!?

Ingatlah, setiap detik yang kita lalui dan setiap harta yang kita belanjakan pasti akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ : عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ

“Tidak akan bergerak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dimintai pertanggung jawaban tentang empat perkara, tentang umurnya ke mana ia habiskan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan ke mana ia belanjakan dan tentang badannya untuk apa ia pergunakan.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib no. 126)

Oleh karenanya, yang paling penting bagi kita bukanlah mengetahui kapan terjadinya kiamat, tapi apa yang telah kita siapkan untuk menghadapi hari kiamat.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَتَى السَّاعَةُ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا أَعْدَدْتَ لَهَا ». قَالَ حُبَّ اللَّهِ وَرَسُولِهِ. قَالَ « أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu bahwasannya, seorang Arab dusun bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “kapan terjadinya hari kiamat”, maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “apa yang telah engkau siapkan untuk menghadapi hari kiamat”, ia menjawab, “kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya”, maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “engkau akan bersama dengan yang engkau cintai”.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.


Sumber: Facebook Ustadz Sofyan Chalid Bin Idham Ruray

Ikhwan-Akhwat Blacklist

Bismillahirrahmanirrahiim..
Mungkin lucu yaaah kalo ikhwan akhwat yang notabene orang yang alim tapi juga bisa genit hihihi.....Mungkin aja looo kan mereka juga manusia, punya rasa punya hati hehehe. Ikhwan kalo arti yang bener itu saudara laki – laki, tapi kalo di Indonesia ikhwan itu pastinya beda yaitu cowok yang biasanya pake baju koko,celana gantung melihara jenggot de el el.

Kalo pake celana levis gondrong pake baju kaos oblong ga dianggep ikhwan ( padahal kalo berjuang demi islam paling depan ). Trus kalo akhwat arti yang bener saudara perempuan, yaaa kalo di Indonesia yang biasa pake jilbab ( bukan kerudung atau burqa ) pandangan nunduk terus ( duitnya jatoh kali ! ) dan tertutup banget deh.trus apa hubungannya dengan genit ??? mereka genit ???

Emang sih si ikhwan mungkin ga bilang ma akhwat

trus gimana kalo mereka lagi genit??? bukannya genit tapi gombal yang “islami”....af1(afwan) kalo bilang gombal tapi memang kenyataannya, bahkan mereka seperti ini ini termasuk ikhwan blacklist...ikhwan yang bisa ngerusak ikhwan lainnya. Akhwat juga sama..Yuk kita intip


SUKA SMS ATAU CHAT YANG GA JELAS
Ini ciri – ciri menonjol dari IBL ( ikhwan blacklist ) suka sms-an atau chat yang ga penting sama akhwat ( sama aja akhwatnya juga ! huh ) pertama chatting bilang “salam ukhuwah yaa ukh” eeehh akhwatnya juga futur hatinya gara – gara lihat profilenya “tinggi 185cm keturunan Arab lagi menyesaikan S2 di Al-Azhar, kebetulan lagi libur panjang jadi pulang ke Indonesia”padahal kalo akhwat ketemu ikhwan item pendek bilangnya jaga pandangan tapi lihat ikhwan kaya di atas luntur hatinya hehehehe....

“hari sudah malam ukh,sholat witir dan lansung tidur dan jangan lupa berdo'a agar mimpi indah”......
akhwatnya bales lagi
“Jazakallah akhi,akhi juga yaaah” ( Gubrak ! )

eeeeeh gamau kalah sama orang pacaran jam 2 pagi misscalin abis itu sms-an lagi “ukh dah bangun?, jangan lupa tahajud?”
di ladenin lagi ma akhwatnya
“sudah kuq, ana habis wudhu nih baru mau sholat, akhi sudah?”

“Alhamdulillah sudah ukh!” GEDUBRAK ( lebih parah dari gubrak )

Kalian mau tau kan pacaran yang “islami” ????? tuh contohnya

“si Ani jalan mundur , hari gini dah tidur ?”
“si Emen julan tomat, cemen amat”
“buah aren dimakan rusa,orang keren lagi buang pulsa” hehehe


TAAT KALO ADA YANG LIHAT
Iklan banget ga sih? Aha bener kok...kalo ada akhwat buru – buru kaya jojon ditaekin celananya biar ga isbal hehehe.....kalo dateng buat halqah ogah -ogahan soalnya ketemu sama yang sejenis, coba kalo lagi liqo waaaaah paling cepet kalo dateng, udah cepet datengnya duduknya dibelakang lagi biar bisa lirik – lirikan ( gaswat ) yang akhwat juga sama aja lagi mau aja ikut ngelirik juga ( ckckck... ) yang lebih parah lagi kalo rapat LDK akhwat sampe pulang malem juga mau ( astagfirullah ) kemana iffah ( harga diri )mu ukh ??? ( apa ga masuk waktu halqah tentang iffah ? ).

Sumber:(Forum bebas) http://www.forumbebas.com/printthread.php?tid=67282

Sabtu, 21 November 2009

BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG ENGGAN MENYEBUT “SAYA SEORANG SALAFY’ KARENA KHAWATIR MENIMBULKAN PERPECAHAN

BANTAHAN TERHADAP ORANG YANG ENGGAN MENYEBUT “SAYA SEORANG SALAFY’ KARENA KHAWATIR MENIMBULKAN PERPECAHAN
Author: Abu Zubair Hawaary

Pertanyaan :

Sebagian saudara kita para da’I mengatakan, ‘Saya menolak mengatakan ‘Saya seorang salafy’ karena khawatir orang memandangnya seperti sebuah hizbiyyah (kelompok)’. Apakah perkataan ini benar ataukah saya harus menjelaskan kepada orang apa itu salafiyyah?”.

Jawaban : Syaikh Al-Albany berkata,

Pernah terjadi dialog antara saya dan salah seorang penulis islamy yang bersama kita di atas Al-Kitab dan As-Sunnah. Saya berharap dari ikhwan kita para penuntut ilmu untuk menghapal dialog ini; karena manfaatnya sangat penting sekali. Saya katakana kepadanya, (berikut ini kami susun dialog Syaikh dengan penulis tersebut).

Syaikh Al-Albany : Apabila seseorang bertanya kepadamu, ‘Apa mazhabmu? Apa jawabanmu?”.

Penulis Islamy : Muslim.

Syaikh Al-Albany : Jawaban ini salah.

Penulis Islamy : kenapa?

Syaikh Al-Albany : kalau seseorang bertanya kepadamu apa agamamu?

Penulis islamy : muslim.

Syaikh Al-Albany : yang pertama tadi saya tidak bertanya apa agamamu, tapi yang saya tanyakan apa mazhabmu? Anda tentunya tahu bahwasanya di dunia islam hari ini ada mazhab-mazhab banyak sekali, dan anda sependapat dengan kami bahwa sebagiannya tidak termsuk ke dalam islam sedikitpun. Seperti mazhab Ad-Duruz, isma’iliyyah, alawiyyah dan lainnya. Namun begitu mereka tetap mengatakan ‘Kami adalah muslim’. Dan ada kelompok-kelompok lain, kita tidak mengatakan bahwa dia keluar dari islam, akan tetapi tidak diragukan lagi bahwasanya ia termasuk kelompoki-kelompok sesat yang dalam banyak masalah keluar dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Seperti Mu’tazilah, Khowarij, Murji’ah, dan Jabariyyah serta yang lainnya. Menurutmu, apakah ini ada atau tidak hari ini?

Penulis islamy : ya.

Syaikh Al-Albany : kalau kita tanyakan kepada salah seorang mereka apa mazhabmu? Ia akan menjawab, “Muslim”. Engkau muslim sama dengan dia yang juga mengaku muslim. Jadi kita ingin anda menjelaskan dalam jawabanmu apa mazhabmu setelah islam dan agamamu?

Penulis islamy : kalau begitu mazhabku Al-Kitab dan As-Sunnah.

Syaikh Al-Albany : jawaban ini juga tidak cukup.

Penulis islamy : kenapa?

Syaikh Al-Albany : karena semua (firqoh/kelompok) yang kita sebutkan di atas mengaku bahwa mereka muslimun, dan tidak seorangpun dari mereka yang mengatakan, ‘Saya tidak berada di atas Al-Kitab dan As-Sunnah. Misalnya : apakah syi’ah mengatakan bahwa kami melawan Al-Kitab dan As-Sunnah? Bahkan mereka mengatakan : kami di atas Al-Kitab dan As-Sunnah, kalian yang menyimpang dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Jadi ustadz .. tidak cukup anda mengatakan : saya muslim di atas kitab dan sunnah, harus ada satu perkara lagi yang digabungkan. Bagaimana menurut mu, apakah boleh kita memahami Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman baru? Ataukah kita harus komitmen dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah dengan mengikuti jalan Salafush Sholeh?

Penulis islamy : itu harus.

Syaikh Al-Albany : apakah anda meyakini bahwasanya pengikut-pengikut mazhab-mazhab lain yang kelaur dari islam, namun mengaku islam dan yang masih dalam lingkaran islam akan tetapi menyimpang dalam sebagian hukum-hukumnya. Apakah anda yakin bahwasanya mereka mengatakan seperti yang anda dan saya katakana, “Kami berada di atas kitab dan sunnah dan di atas manhaj salafush sholeh?

Penulis islamy : tidak, mereka tidak sama dengan kita.

Syaikh Al-Albany : jika demikian, tidak cukup anda mengatakan saya di atas kitab dan sunnah, harus ada gabungan lain.

Penulis islamy : ya.

Syaikh Al-Albany : jadi semestinya anda mengatakan di atas Al-Kitab dan As-Sunnah dan di atas manhaj salafush sholeh. Sekarang kita sampai kepada intinya …

Syaikh Al-Albany [1] : apakah ada satu kata dalam bahasa arab yang menyatukan semua kalimat yang kita sebutkan di atas; muslim, di atas kitab dan sunnah, dan manhaj salafush sholeh, misalnya kalimat “saya seorang salafy”?

Penulis islamy : memang benar demikian.

Syaikh Al-Albany berkata, “Dia pun menyerah. Inilah jawabannya, apabila seseorang mengingkari masalah ini sampaikan kepadanya seperti apa yang kita sebutkan tadi ‘mazhab anda apa? Ia akan menjawab : muslim ..dan teruskan lanjutan dialog bersamanya. Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Alla ilaaha illa Anta, astaghfiruka wa Atuuba Ilaika.

(diterjemahkan dari : http://www.alsalafway.com/cms/news.php?action=news&id=1962)


[1] Disini syaikh Al-Albany berkata, “Saya berkata kepadanya dan dia adalah seorang ahli sastra dan penulis”.

Senin, 09 November 2009

MAYORITAS KAUM MUSLIMIN SEKARANG INI TIDAK MEMAHAMI MAKNA LAA ILAAHA ILLALLAH DENGAN PEMAHAMAN YANG BAIK

Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani


Mayoritas kaum muslimin sekarang ini yang telah bersaksi Laa Ilaaha Illallah (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) tidak memahami makna Laa Ilaaha Illallah dengan baik, bahkan barangkali mereka memahami maknanya dengan pemahaman yang terbalik sama sekali. Saya akan memberikan suatu contoh untuk hal itu : Sebagian di antara mereka (Dia adalah Syaikh Muhammad Al-Hasyimi, salah seorang tokoh sufi dari thariqah Asy-Syadziliyyah di Suriah kira-kira 50 tahun yang lalu) menulis suatu risalah tentang makna Laa Ilaaha Illallah, dan menafsirkan dengan "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah" !! Orang-orang musyrik pun memahami makna seperti itu, tetapi keimanan mereka terhadap makna tersebut tidaklah bermanfaat bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

" Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : 'Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ?' Tentu mereka akan menjawab : 'Allah'. " [Luqman : 25].

Orang-orang musyrik itu beriman bahwa alam semesta ini memiliki Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi mereka menjadikan tandingan-tandingan bersama Allah dan sekutu-sekutu dalam beribadah kepada-Nya. Mereka beriman bahwa Rabb (pengatur dan pencipta) adalah satu (esa), tetapi mereka meyakini bahwa sesembahan itu banyak. Oleh karena itu, Allah membantah keyakinan ini yang disebut dengan ibadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah melalui firman-Nya :

"Dan orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah (berkata) : 'Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya'". [Az-Zumar : 3].

Kaum musyrikin dahulu mengetahui bahwa ucapan Laa Ilaaha Illallah mengharuskannya untuk berlepas diri dari peribadatan kepada selain Allah Azza wa Jalla. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, menafsirkan kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah ini dengan : "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah". Padahal apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dan dia beribadah kepada selain Allah disamping beribadah kepada Allah, maka dia dan orang-orang musyrik adalah sama secara aqidah, meskipun secara lahiriah adalah Islam, karena dia mengucapkan lafazh Laa Ilaaha Illallah, sehingga dengan ungkapan ini dia adalah seorang muslim secara lafazh dan secara lahir.

Dan ini termasuk kewajiban kita semua sebagai da'i Islam untuk menda'wahkan tauhid dan menegakkan hujjah kepada orang-orang yang tidak mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah dimana mereka terjerumus kepada apa-apa yang menyalahi Laa Ilaaha Illallah. Berbeda dengan orang-orang musyrik, karena dia enggan mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, sehingga dia bukanlah seorang muslim secara lahir maupun batin. Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, mereka orang-orang muslim, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

" Apabila mereka mengucapkan (Laa Ilaaha Illallah), maka kehormatan dan harta mereka terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka atas Allah Subhanahu wa Ta'ala". ]Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (25) dan pada tempat lainnya, dan Muslim (22), dan selainnya, dari hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhum]

Oleh karena itu, saya mengatakan suatu ucapan yang jarang terlontar dariku, yaitu : Sesungguhnya kenyataan mayoritas kaum muslimin sekarang ini adalah lebih buruk daripada keadaan orang Arab secara umum pada masa jahiliyah yang pertama, dari sisi kesalahpahaman terhadap makna kalimat tahyyibah ini, karena orang-orang musyrik Arab dahulu memahami makna Laa Ilaaha Illallah, tetapi mereka tidak mengimaninya. Sedangkan mayoritas kaum muslimin sekarang ini mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini, mereka mengucapkan : 'Laa Ilaaha Illallah' tetapi mereka tidak mengimani -dengan sebenarnya- maknanya. (Mereka menyembah kubur, menyembelih kurban untuk selain Allah, berdo'a kepada orang-orang yang telah mati, ini adalah kenyataan dan hakikat dari apa-apa yang diyakini oleh orang-orang syi'ah rafidhah, shufiyah, dan para pengikut thariqah lainnya, berhaji ke tempat pekuburan dan tempat kesyirikan dan thawaf di sekitarnya serta beristighatsah (meminta tolong) kepada orang-orang shalih dan bersumpah dengan (nama) orang-orang shalih adalah merupakan keyakinan-keyakinan yang mereka pegang dengan kuat).

Oleh karena itu, saya meyakini bahwa kewajiban pertama atas da'i kaum muslimin yang sebenarnya adalah agar mereka menyeru seputar kalimat tauhid ini dan menjelaskan maknanya secara ringkas. Kemudian dengan merinci konsekuensi-kosekuensi kalimat thayyibah ini dengan mengikhlaskan ibadah dan semua macamnya untuk Allah, karena ketika Allah Azza wa Jalla menceritakan perkataan kaum musyrikin, yaitu :

" Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". [Az-Zumar : 3]

Allah menjadikan setiap ibadah yang ditujukan bagi selain Allah sebagai kekufuran terhadap kalimat thayyibah Laa Ilaaha Illallah.

Oleh karena itu, pada hari ini saya berkata bahwa tidak ada faedahnya sama sekali upaya mengumpulkan dan menyatukan kaum muslimin dalam satu wadah, kemudian membiarkan mereka dalam kesesatan mereka tanpa memahami kalimat thayyibah ini, yang demikian ini tidak bermanfaat bagi mereka di dunia apalagi di akhirat !.

Kami mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

" Barangsiapa mati dan dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dengan ikhlas dari hatinya, maka Allah mengharamkan badannya dari Neraka" dalam riwayat lain : "Maka dia akan masuk Surga". [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (5/236), Ibnu Hibban (4) dalam Zawa'id dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (3355)].

Maka mungkin saja orang yang mengucapkan kalimat thayyibah dengan ikhlas dijamin masuk Surga. meskipun setelah mengucapkannya menerima adzab terlebih dahulu. Orang yang meyakini keyakinan yang benar terhadap kalimat thayyibah ini, maka mungkin saja dia diadzab berdasarkan perbuatan maksiat dan dosa yang dilakukannya, tetapi pada akhirnya tempat kembalinya adalah Surga.

Dan sebaliknya barangsiapa mengucapkan kalimat tauhid ini dengan lisannya, sehingga iman belum masuk kedalam hatinya, maka hal itu tidak memberinya manfaat apapun di akhirat, meskipun kadang-kadang memberinya manfaat di dunia berupa kesalamatan dari diperangi dan dibunuh, apabila dia hidup di bawah naungan orang-orang muslim yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Adapun di akhirat, maka tidaklah memberinya manfaat sedikitpun kecuali apabila :

[1] Dia mengucapkan dan memahami maknanya.
[2] Dia meyakini makna tersebut, karena pemahaman semata tidaklah cukup kecuali harus dibarengi keimanan terhadap apa yang dipahaminya.

Saya menduga bahwa kebanyakan manusia lalai dari masalah ini ! Yaitu mereka menduga bahwa pemahaman tidak harus diiringi dengan keimanan. Padahal sebenarnya masing-masing dari dua hal tersebut (yaitu pemahaman dan keimanan) harus beriringan satu sama lainnya sehingga dia menjadi seorang mukmin. Hal itu karena kebanyakan ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani mengetahui bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang rasul yang benar dalam pengakuannya sebagai seorang rasul dan nabi, tetapi pengetahuan mereka tersebut yang Allah Azza wa Jalla telah mepersaksikannya dalam firman-Nya.

" Mereka (ahlul kitab dari kalangan Yahudi dan Nashara) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri ...." [Al-Baqarah : 146 & Al-An'am : 20]

Walaupun begitu, pengetahuan itu tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun ! Mengapa ? Karena mereka tidak membenarkan apa-apa yang diakui oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berupa nubuwah (kenabian) dan risalah (kerasulan). Oleh karena itu keimanan harus didahului dengan ma'rifah (pengetahuan). Dan tidaklah cukup pengetahuan semata-mata, tanpa diiringi dengan keimanan dan ketundukan, karena Al-Maula Jalla Wa' ala berfirman dalam Al-Qur'an :

" Maka ketahuilah bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah dan mohon ampunlah atas dosa mu ......." [Muhammad : 19].

Berdasarkan hal itu, apabila seorang muslim mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan lisannya, maka dia harus menyertakannya dengan pengetahuan terhadap kalimat thayyibah tersebut secara ringkas kemudian secara rinci. Sehingga apabila dia mengetahui, membenarkan dan beriman, maka dia layak untuk mendapatkan keutamaan-keutamaan sebagaimana yang dimaksud dalam hadits-hadits yang telah saya sebutkan tadi, diantaranya adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai isyarat secara rinci :

"Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka bermanfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]

Yaitu : Kalimat thayyibah ini -setelah mengetahui maknanya- akan menjadi penyelamat baginya dari kekekalan di Neraka. Hal ini saya ulang-ulang agar tertancap kokoh di benak kita.

Bisa jadi, dari tidak melakukan konsekuensi-konsekuensi kalimat thayyibah ini berupa penyempurnaan dangan amal shalih dan meninggalkan segala maksiat, akan tetapi dia selamat dari syirik besar dan dia telah menunaikan apa-apa yang dituntut dan diharuskan oleh syarat-syarat iman berupa amal-amal hati -dan amal-amal zhahir/lahir, menurut ijtihad sebagian ahli ilmu, dalam hal ini terdapat perincian yang bukan disini tempat untuk membahasnya- (Ini adalah aqidah Salafus Shalih, dan ini merupakan batas pemisah kita dengan khawarij dan murji'ah). Da dia berada dibawah kehendak Allah, bisa jadi dia masuk ke Neraka terlebih dahulu sebagai balasan dari kemaksiatan-kemaksiatan yang dia lakukan atau kewajiban-kewajiban yang ia lalaikan, kemudian kalimat thayyibah ini menyelamtkan dia atau Allah memaafkannya dengan karunia dan kemuliaan-Nya. Inilah makna sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu :

"Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah, maka ucapannya ini akan memberi manfaat baginya meskipun satu hari dari masanya". [Hadits Shahih. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1932) dan beliau menyandarkan kepada Sa'id Al-A'rabi dalam Mu'jamnya, dan Abu Nu'aim dalam Al-Hidayah (5/46) dan Thabrani dalam Mu'jam Al-Ausath (6533), dan daia dari Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu]

Adapun orang yang mengucapkan dengan lisannya tetapi tidak memahami maknanya, atau memahami maknanya tetapi tidak mengimani makna tersebut, maka ucapan Laa Ilaaha Illaallah-nya tidak memberinya manfaat di akhirat, meskipun di dunia ucapan tersebut masih bermanfaat apabila ia hidup di bawah naungan hukum Islam.

Oleh karena itu, harus ada upaya untuk memfokuskan da'wah tauhid kepada semua lapisan masyarakat atau kelompok Islam yang sedang berusaha secara hakiki dan bersungguh-sungguh untuk mencapai apa yang diserukan oleh seluruh atau kebanyakan kelompok-kelompok Islam, yaitu merealisasikan masyarakat yang Islami dan mendirikan negara Islam yang menegakkan hukum Islam di seluruh pelosok bumi manapun yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan.

Kelompok-kelompok tersebut tidak mungkin merealisasikan tujuan yang telah mereka sepakati dan mereka usahakan dengan sungguh-sungguh, kecuali memulainya dengan apa-apa yang telah dimulai oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, agar tujuan tersebut bisa menjadi kenyataan.

[Disalin dari buku At-Tauhid Awwalan Ya Du'atal Islam, edisi Indonesia TAUHID, Prioritas Pertama dan Utama, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal 16-26, terbitan Darul Haq, penerjemah Fariq Gasim Anuz]


__________________________
_______________________


Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh dalam "Fath Al Majid" berkata :"Banyak orang yg keliru dalam memahami hadits 'Barang siapa yg mengucapkan [Laa ilaaha illallaah], maka ia akan masuk surga'. Mereka mengira bahwa dengan melafazhkan kalimat itu berarti cukup untuk menyelamatkannya dari api neraka dan masuk surga. Padahal sebenarnya tidaklah demikian.

Orang yg mengira seperti itu berarti ia telah terpedaya dan tidak mengerti makna [Laa ilaaha illallaah], karena dengan demikian berarti ia tidak menghayatinya.

Makna yang sebenarnya adalah, melepaskan diri dari setiap sesembahan dan bersungguh2 dalam mengkhususkan diri dengan semua jenis ibadah hanya untuk Allah semata serta melaksanakan ibadah2 tersebut sesuai dengan cara yang dicintai dan di ridhaiNya.

Orang yg belum melaksanakan hak ibadah tersebut, atau hanya melaksanakan beberapa jenis saja, kemudian beribadah pula kepada selain Allah dengan cara berdoa kepada para wali dan orang2 shalih serta bernadzar kepada mereka dan sejenisnya, berarti orang semacam ini telah menghancurkan ibadahnya itu sendiri.Maka pernyataanya tentang [Laa ilaaha illallaah] tidak lagi berguna baginya.

Seandainya cukup hanya dengan mengucapkannya, tentu kaum musyrikin tidak pernah diperangi oleh Nabi Shallallhu 'alaihi wa sallam dan tidak akan di musuhi.

Allah subhanahu wa ta'alaa telah berfirman "maka ketahuilah, bahwa tiada sesembahan (yang hak) selain Allah" (QS. Muhammad ayat 19). Allah juga menyebutkan "Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia; maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya..." (QS. Al Mu'min ayat 65)

Jadi orang yang tidak mengamalkannya dan melakukan hal2 yang bertolak belakang dengannya, maka sekedar mengucapkannya/melafazhkannya itu tidaklah berguna sama sekali.

Setiap orang yang melakukan suatu ibadah untuk selain Allah, maka ia tidak tahu makna [Laa ilaaha illallaah] atau ia berdusta ketika menyatakan keimanan dalam hatinya.
Mereka itulah orang2 yang terpedaya dan tidak berguna semua amalnya, yaitu yang sesat usahanya di dalam kehidupan dunia, sementara mereka mengira bahwa mereka telah melakukan kebaikan. Na'uudzu billaahi min dzaalik. [Sumber : Kitab Fathul Majid, Bab "Keistimewaan Tauhid dan dosa2 yg diampuni karenanya", Hal 57]

Sabtu, 07 November 2009

Jalan Kebenaran Hanya Satu

Penulis : Al-Ustadz Abdul Mu’thi Al-Medani
Jalan Kebenaran Hanya Satu


Islam adalah agama universal yang mencakup seluruh ajaran kebaikan. Mulai dari keyakinan, ucapan maupun perbuatan diterangkan secara lengkap dalam Islam. Keterangannya baik secara global atau rinci terpampang dengan jelas dan gamblang. Itulah jalan-jalan keselamatan yang bisa ditempuh oleh para pemeluk agama ini. Jalan-jalan yang bisa menghantarkan pelintasnya ke jannah Allah k dan menyelamatkannya dari adzab neraka. Allah k berfirman:

قَدْ جآءَكُمْ مِنَ اللهِ نُوْرٌ وَكِتاَبٌ مُبِيْنٌ. يَهْدِي بِهِ اللهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلاَمِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُماَتِ إِلىَ النُّوْرِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيْهِمْ إِلىَ صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ

“Sungguh telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan-jalan keselamatan dan Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya dengan seizin-Nya serta menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma`idah: 15-16)
Jalan keselamatan boleh berbilang namun kebenaran tetap hanya satu. Karena setiap jalan keselamatan adalah bagian dari kebenaran yang satu. Sehingga sebuah jalan tidak dihukumi sebagai jalan keselamatan kecuali bila nilai kebenaran menjadi muatannya. Jika terjadi perselisihan dan pertikaian mengenai sebuah jalan keselamatan maka kebenaran itu tetap berjumlah satu. Kebenaran berada pada salah satu pendapat yang dipegang oleh salah satu pihak. Tentunya tolak ukur kebenaran itu adalah Al Qur`an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Allah k berfirman:

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ

“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (Al-Baqarah: 147)
Kemudian Allah k berfirman:

وَمَنْ يٌشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ ماَ تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ ماَ تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَساَءَتْ مَصِيْراً

“Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas baginya petunjuk, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (shahabat g), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)
Lalu Allah k berfirman:

فَماَذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ

“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Ayat ini menetapkan bahwa tidak ada kedudukan ketiga antara al-haq dan al-bathil dalam permasalahan mentauhidkan Allah k. Maka demikian pula perkaranya dalam permasalahan-permasalahan yang setara. Yaitu dalam permasalahan-permasalahan ushul (prinsip), kebenaran berada pada salah satu pihak.
Barangkali ada yang mengatakan: “Sesungguhnya dzahir ayat ini menunjukkan bahwa yang selain (mentauhidkan) Allah adalah kesesatan. Karena permulaan ayat berbunyi:

فَذَلِكُمُ اللهُ رَبُّكُمُ الْحَقٌّ فَماَذاَ بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ

“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah Rabb kalian yang sebenarnya; sehingga tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Lalu kenapa memperluas pendalilan ini (yakni menggunakan ayat ini untuk mengingkari bentuk kesesatan selain kesyirikan -ed)?”
Jawabannya: Sesungguhnya para pendahulu kita yang baik telah berdalil dengan keumuman ayat ini terhadap segala kebatilan. Oleh karena itu Al-Imam Malik t berdalil dengannya dalam mengharamkan permainan catur sebagaimana pada riwayat Asyhab. Bentuk (pendalilan) itu sebagai berikut: bahwa kekafiran adalah sesuatu yang menutupi al-haq. Maka semua yang selain kebenaran berjalan di atas jalur ini.” (Tafsir Al-Qurthubi, 8/336)
Dalam setiap pertikaian dan perselisihan, kebenaran hanya satu sedangkan yang selainnya adalah keliru. Bahkan tak jarang mengandung kebatilan dan kesesatan. Inilah sebab Allah k melarang setiap perselisihan dan pertikaian. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t pernah menerangkan: “Ayat-ayat yang melarang setiap perselisihan dalam agama mengandung celaan terhadapnya. Seluruhnya mempersaksikan dengan nyata bahwa al-haq di sisi Allah k hanya satu, sedangkan yang selainnya merupakan kesalahan. Kalau seandainya semua pendapat itu adalah benar, niscaya Allah k dan Rasul-Nya tidak akan melarang dari kebenaran dan tidak pula akan mencelanya. Sungguh Allah k telah mengabarkan bahwa perselisihan bukan dari sisi-Nya. Yang bukan dari sisi Allah k tidak dianggap sebagai kebenaran. Allah k berfirman:

وَلَوْ كاَنَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلاَفاً كَثِيْراً

“Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa`: 82) (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594)

Dalil-dalil tentang Kebenaran Hanya Satu
Cukup banyak dalil akurat dari Al Qur`an, As Sunnah dan amalan shahabat yang menunjukkan bahwa kebenaran dalam setiap permasalahan yang diperselisihkan hanya satu. Adapun yang selainnya merupakan kesalahan. Di antara dalil-dalil tersebut:
1. Allah k berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْماً فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Dan bahwa ini adalah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain. Karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu Allah wasiatkan pada kalian agar kalian bertakwa.” (Al-An‘am: 153)
Ibnu Katsir t -ketika menafsirkan ayat ini- berkata: “Firman Allah k:

فَاتَّبِعُوْهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ

“Ikutilah (jalan-Ku) dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang lain.”
(Di sini) sungguh Allah k menyebutkan tentang jalan-Nya dengan bentuk kata tunggal karena kebenaran itu hanya satu. Oleh sebab itu, Allah menyebutkan tentang jalan-jalan yang lain dengan bentuk kata jamak (banyak). Karena jalan-jalan yang lain terpisah-pisah dan bercabang-cabang….” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/256)
2. Allah k berfirman:

وَدَاوُدَ وَسُلَيْماَنَ إِذْ يَحْكُماَنِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيْهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُناَّ لِِحُكْمِهِمْ شاَهِدِيْنَ. فَفَهَّمْناَهاَ سُلَيْماَنَ وَكُلاًّ آتَيْناَ حِكْماً وَعِلْماً وَسَخَّرْناَ دَاوُدَ الْجِباَلَ يُسَبِّحْنَ وَالطَّيْرَ وُكُناَّ فاَعِلِيْنَ

“Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman. Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat). Dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu. Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung serta burung-burung. Semuanya bertasbih bersama Dawud. Dan Kamilah yang melakukannya.” (Al-Anbiya`: 78-79)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menjelaskan -tentang dua ayat ini- sebagai berikut: “Kedua nabi yang mulia ini telah sama-sama memberikan keputusan dalam sebuah kasus yang membutuhkan vonis hukum. Maka Allah k mengistimewakan salah seorang dari keduanya dengan memahamkan (kepadanya) duduk permasalahan (yang dihadapi). Bersamaan dengan itu Allah memuji masing-masing dari keduanya dengan mendatangkan pengetahuan hukum dan ilmu kepadanya. Demikian pula para ulama yang mujtahid g. Siapa yang benar dari mereka mendapatkan dua pahala sedangkan yang salah mendapatkan satu pahala. Masing-masing mereka taat kepada Allah sesuai dengan kemampuannya. Allah tidak akan memberatkannya dengan sesuatu yang dia tidak mampu mengilmuinya…” (Majmu’ Al-Fatawa, 33/41)
3. Rasulullah n bersabda:

إِذاَ حَكَمَ الْحاَكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصاَبَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذاَ حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

“Apabila seorang hakim menghukumi lalu berijtihad maka jika benar dia mendapatkan dua pahala dan jika salah dia mendapatkan satu pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah z)
Al-Imam Al-Muzani t menandaskan: “Perlu dipertanyakan kepada orang yang membolehkan perbedaan pendapat dan menyangka bahwa dua orang alim jika berijtihad pada sebuah kejadian –yang satu berpendapat (halal) sementara yang lain berpendapat (haram)– masing-masing dari keduanya meraih kebenaran: Apakah engkau mengatakan ini dengan sebuah sumber (hukum) atau dengan qiyas? Bila dia menjawab: Dengan sebuah sumber (hukum). Dipertegas kepadanya: Bagaimana bisa dari sebuah sumber (hukum) sedangkan Al Qur`an menolak perbedaan pendapat. Bila dia menjawab: Dengan qiyas. Dipertegas kepadanya: Sumber-sumber (hukum) menolak perbedaan pendapat dan bagaimana engkau bisa mengqiyas atas sumber-sumber (hukum) tersebut untuk membolehkan perbedaan pendapat. Ini merupakan perkara yang tidak bisa diterima oleh orang yang berakal terlebih lagi oleh seorang yang berilmu.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, karya Ibnu ‘Abdil Barr, 2/89)
4. Rasulullah n bersabda:

إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفَرَّقَتْ أُمَّتِي عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي الناَّرِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قَالُوا: وَمَنْ هِيَ، ياَ رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ الْْيَوْمَ وَأَصْحاَبِي

“Sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan dan akan berpecah umatku menjadi tujuh puluh tiga golongan. Mereka seluruhnya berada dalam api neraka kecuali golongan yang satu. Para shahabat bertanya: “Siapa golongan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “(Dia adalah golongan yang memegang) ajaranku dan (faham) shahabatku pada hari ini.” (HR. At-Tirmidzi dan selainnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash c)
Dalam sanad hadits ini terdapat Abdurrahman bin Ziyad Al-Ifriqi. Dia seorang yang dha’if. Tetapi hadits ini dikuatkan oleh banyak hadits lain yang semakna. Hadits-hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa orang shahabat, antara lain:
1. Abu Hurairah
2. Mu’awiyah bin Abi Sufyan
3. Anas bin Malik
4. ‘Auf bin Malik
5. Ibnu Mas‘ud
6. Abu Umamah
7. ‘Ali bin Abi Thalib
8. Sa’ad bin Abi Waqqash
Semoga Allah k meridhai mereka semua.
Al-Imam Syathibi t memaparkan: “Sabda beliau n “Kecuali golongan yang satu”, secara nash memberikan penjelasan bahwa kebenaran hanya satu dan tidak beraneka ragam. Sebab jika seandainya kebenaran menjadi milik berbagai pihak niscaya beliau tidak akan mengatakan “Kecuali golongan yang satu”…”. (Al-I’tisham, 2/755)
5. Al-Imam Al-Muzani t berkata:
Para shahabat Rasulullah n telah berbeda pendapat. Sebagian mereka menyalahkan yang lainnya. (Sebagian mereka) melihat kepada pendapat-pendapat yang lain lalu mengomentarinya. Jika mereka berpandangan bahwa seluruh pendapat mereka (ketika berselisih) adalah benar, niscaya mereka tidak akan melakukan yang demikian.
‘Umar bin Al-Khaththab z pernah marah karena perselisihan Ubay bin Ka’b z dengan Abdullah bin Mas’ud z mengenai hukum shalat mengenakan sehelai pakaian. Saat itu Ubay berkata: “Sesungguhnya shalat dengan mengenakan sehelai pakaian merupakan perkara yang baik lagi bagus.” Ibnu Mas’ud berkata: “Sungguh yang demikian itu (dibolehkan) bila jumlah pakaiannya sedikit.” Maka ‘Umar keluar dalam keadaan marah dan berkata: “Dua orang shahabat Rasulullah n yang dipandang dan diambil pendapatnya telah berselisih. Ubay telah benar dan Ibnu Mas’ud tidak lalai. Akan tetapi tidaklah aku mendengar seorang pun berselisih mengenainya setelah (aku meninggalkan) tempatku ini melainkan aku akan memperlakukannya demikian dan demikian.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/83-84)

Tidak Setiap Mujtahid Benar
Dalil-dalil di atas dengan tegas mematahkan kesesatan sebagian muslimin yang berpandangan bahwa setiap mujtahid benar. Sebab pernyataan ini adalah madzhab Mu’tazilah negeri Bashrah. Merekalah sumber dari kebid’ahan ini. Mereka berpendapat demikian karena tidak paham tentang makna-makna dan metode-metode fiqih yang mengantarkan kepada kebenaran serta memisahkan dari kerancuan-kerancuan yang batil. (Al-Bahru Al-Muhith karya Az-Zarkasyi, 6/243)
Tidak ada seorang pun dari para ulama sunnah dan imam-imam Islam yang menyuarakan bahwa setiap mujtahid benar. Adapun penisbahannya kepada Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Malik merupakan isapan jempol dan tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (Al-Bahru Al-Muhith, 6/242 dan Shifatush-shalah karya Al-Albani hal.63-64)
Al-Imam Malik t berkata: “Tidaklah (ada) kebenaran melainkan hanya satu. (Mungkinkah -ed) dua pendapat yang saling bertentangan keduanya benar? Tidaklah al-haq dan kebenaran melainkan hanya satu.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/82, 88, 89)
Hal yang hampir senada diucapkan pula oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t (Majmu’ Al-Fatawa, 33/42), Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah t (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594), Ibnu Abdil Barr t (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/88), dan para ulama yang lainnya.

Perselisihan Bukan Argumen untuk Mentolerir Suatu Pendapat
Berargumen dengan perselisihan dan perbedaan pendapat untuk melegitimasi suatu pemikiran (dari tokoh tertentu) atau madzhab sebagai sebuah kebenaran merupakan perkara yang tidak benar. Sikap ini tidak memiliki akurasi hujjah. Sebab Al Qur`an dan As Sunnah tidak mengajarkannya.
Al-Hafidz Abu ‘Umar bin Abdil Barr t berkata: “Perselisihan bukan hujjah menurut seluruh ahli fiqih umat ini kecuali bagi orang yang tidak punya mata hati dan pengetahuan. Maka pendapatnya bukan hujjah.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/229)
Kewajiban seorang muslim adalah mencari letak kebenaran dalam sebuah perselisihan dan pertikaian. Tidak semua pendapat mengusung kebenaran. Kebenaran hanya berada pada salah satu pihak yang berselisih dan bertikai. Ini adalah pendapat Al-imam Malik, Ahmad dan Asy-Syafi’i rahimahumullah. (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594)
Pihak yang benar adalah yang pendapatnya berlandaskan Al Qur`an dan As Sunnah beserta pemahaman Salaf. Sebuah kesalahan fatal bila seorang muslim menganggap suatu perkara dibolehkan dengan alasan (di dalam perkara tersebut terdapat) perselisihan di kalangan para ulama apalagi yang selainnya. Ini merupakan kekeliruan terhadap syariat Islam. Namun sangat disayangkan betapa banyak orang yang terjatuh di dalamnya. Mereka bukan dari golongan orang awam saja akan tetapi juga melibatkan orang-orang yang mengaku dirinya berilmu. Sebagian mereka dianggap ulama atau paling tidak bergelar kyai maupun ustadz. Bahkan tak jarang ahlul bid’ah berupaya melanggengkan berbagai kebid’ahannya dengan alasan yang demikian. Wallahul musta’an.
Marilah kita menyimak penuturan ulama berikut ini:
Al-Imam Asy-Syathibi t berkata: “Perkara ini telah melampaui kadar yang cukup. Sehingga terjadi pembolehan sebuah perbuatan karena berpegang pada kondisinya yang diperselisihkan di kalangan para ulama. Pembolehan ini bukan bermakna untuk memelihara perselisihan, sebab hal ini memiliki sisi pandang yang lain, akan tetapi tujuannya adalah yang selain itu (yakni tujuannya tidak untuk memelihara perselisihan -red). Terkadang dalam suatu permasalahan muncul fatwa yang melarang. Lalu dipertanyakan: “Kenapa engkau melarang? Padahal permasalahannya diperselisihkan.” Maka perselisihan dijadikan argumen untuk membolehkan, semata-mata karena permasalahannya diperselisihkan. Bukan karena dalil yang menyokong kebenaran madzhab yang membolehkan. Tidak pula karena taqlid kepada orang yang lebih pantas diikuti daripada orang yang mengatakan larangan. Itulah wujud kesalahan terhadap syariat, yaitu menjadikan yang bukan pegangan sebagai pegangan dan yang bukan hujjah sebagai hujjah.” (Tahdzib Al-Muwafaqat, karya Muhammad bin Husain Al-Jizani, hal. 334)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Siapapun tidak boleh berhujjah dengan pendapat seseorang dalam permasalahan-permasalahan yang diperselisihkan. Hujjah itu hanya berupa nash (Al Qur`an dan As Sunnah), ijma’ dan dalil yang disimpulkan dari itu (sedangkan) pendahuluannya dikokohkan dengan dalil-dalil syar’i, tidak dengan pendapat-pendapat sebagian ulama. Karena pendapat-pendapat ulama perlu diberi hujjah dengan dalil-dalil syar’i, bukan untuk dijadikan sebagai hujjah atas dalil-dalil syar’i.” (Majmu’ Al-Fatawa, 26/202-203)

Setiap Pendapat Menuntut Dalil
Menuntut dalil dari setiap pendapat merupakan kewajaran di kalangan pecinta kebenaran. Tentunya tanpa memandang siapa yang menjadi sasarannya. Sebab nilai kebenaran terletak pada dalil bukan dalam kebesaran nama seseorang. Namun tidak berarti tanpa etika dan adab yang layak dalam melakukannya. Inilah barangkali yang tidak dipahami oleh para pembebek yang terperosok dalam kubangan pengkultusan tokoh. Acapkali mereka memegang sebuah pendapat karena yang mengucapkannya adalah seorang yang punya nama besar tanpa menoleh dalilnya. Terkadang profil yang dimaksud bukan ulama yang faham agama beserta dalil-dalilnya dengan benar.
Tapi keharusan berpijak kepada dalil tak bisa digugurkan walaupun pemilik pendapat adalah seorang ulama dengan kriteria yang hampir mencapai titik sempurna. Orang yang mempelajari sejarah hidup generasi terbaik umat ini akan melihat bahwa mereka tak sungkan-sungkan untuk bertanya tentang dalil sebuah pendapat kepada yang bersangkutan. Berikut beberapa riwayat dalam masalah ini:
1. Dari Abu Ghalib, ia berkata: Kami bertanya (kepada Abu Umamah z):

أَبِرَأْيِكَ قُلْتَ: هَؤُلاَءِ كِلاَبُ الناَّرِ، أَوْ شَيْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟

“Apakah dengan pendapatmu engkau mengatakan: Mereka (Khawarij) adalah anjing-anjing neraka, atau sesuatu yang engkau dengar dari Rasulullah n?

إِنِّي لَجَرِيْءٌ بَلْ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ ثِنْتَيْنِ وَلاَ ثَلاَثٍ

“(Jika demikian) sungguh aku sangat berani. Akan tetapi aku mendengarnya dari Rasulullah n tidak hanya sekali, dua dan tiga kali.” Lalu beliau menyebutkan hitungan bilangannya berulang kali. (HR. Ahmad, dengan sanad yang jayyid menurut penilaian Asy-Syaikh Muqbil t, lihat Al-Jami’ush Shahih, 1/199-201)
2. Dari Abu Shalih, ia berkata: Aku mendengar Abu Sa’id Al-Khudri z mengatakan:

الدِّناَرُ بِالدِّناَرِ، وَالدِّرْهَمُ بِالدِّرْهَمِ، مِثْلاً بِمِثْلٍ، فَمَنْ زَادَ – أَوِ ازْدَادَ – فَقَدْ أَرْيَى

“Dinar dengan dinar, dan dirham dengan dirham (menukar/jual-belinya) dengan timbangan yang sama (bobotnya). Barangsiapa yang menambahi atau minta tambahan berarti dia telah berbuat riba.”
Aku (Abu Shalih) berkata kepadanya (Abu Sa’id): “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas mengatakan yang selain ini.” Abu Sa’id Al-Khudri menjawab: “Aku telah bertemu Ibnu ‘Abbas. Aku bertanya: Apakah yang engkau ucapkan ini adalah sesuatu yang pernah engkau dengar dari Rasulullah n, atau engkau mendapatkannya dalam Kitabullah –k–? Beliau (Ibnu ‘Abbas –red) menjawab: Aku tidak mengatakan semua itu. Kalian lebih tahu tentang Rasulullah n daripada aku. Akan tetapi Usamah telah memberitakan kepadaku bahwa Rasulullah n bersabda:

لاَ رِباً إِلاَّ فِي النَّسِيْئَةِ

“Tidak ada riba kecuali (riba) an-nasi`ah.” (HR. Al-Bukhari no. 2178 dan Muslim no. 1596)
3. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan di dalam Manaqib Asy-Syafi’i (86-87): Al-Imam Ahmad pernah bertanya kepada Al-Imam As-Syafi’i rahimahumallah: “Apa pendapatmu tentang masalah yang demikian dan demikian?” Lalu Al-Imam Asy-Syafi’i menjawab masalahnya. Al-Imam Ahmad berkata: “Dari mana engkau mengatakan itu? Apakah terdapat padanya sebuah hadits atau ayat Al Qur`an?” Al-Imam Asy-Syafi’i menjawab: “Ya.” Lantas beliau mengutarakan sebuah hadits Nabi n mengenai masalah tersebut.” (Zajrul Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim hal. 69)
Demikianlah tuntunan dari pendahulu kita yang baik. Namun sangat disayangkan kini banyak kalangan mentolerir suatu pendapat karena semata-mata yang mengucapkannya adalah seorang ulama atau kyai. Mereka tidak bersikap ilmiah dengan mau melihat dalilnya. Terlebih lagi mau berpikir tentang akurasi dalil dan pendalilannya. Inilah realita pahit dan memilukan dalam kehidupan beragama kebanyakan kaum muslimin belakangan ini. Bahkan penyakit ini berkembang pula di tengah para santri kebanyakan pondok pesantren di dalam dan luar negeri. Tak kalah serunya tatkala hal serupa ikut merebak di level para da’i yang sedang bergelut di kancah dakwah kecuali segelintir orang yang dirahmati oleh Allah k. Wallahul musta’an.
Semoga pembahasan ini mengingatkan kita untuk kembali intropeksi diri dengan satu pertanyaan: Dari golongan manakah kita dalam memegang pendapat? Mudah-mudahan Allah k menjadikan kita selalu berada di belakang dalil dalam beragama dan tidak dininabobokan oleh nama besar sosok-sosok tertentu.

Penutup
Seluruh pembahasan di atas berlaku secara umum pada segala permasalahan agama baik ushul (prinsip) maupun furu’ (cabang) tanpa perbedaan. Karena masing-masing bagian memiliki kekokohan hubungan yang sama erat dengan norma-norma syari’at. (Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah, hal. 594 dan Fathul Qadir karya Al-Imam Asy-Syaukani, 1/370)
Adapun perselisihan yang dimaksud dalam pembahasan di atas yaitu perselisihan yang mengandung kontradiksi antara dua pendapat atau lebih dan tidak bisa kompromikan. Yang bisa dikompromikan dengan metode-metode yang dikenal di kalangan para ulama tidak termasuk dalam cakupannya, karena tidak masuk dalam kategori perselisihan dengan makna yang sesungguhnya. Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tadhadh. Di sana terdapat perselisihan yang berangkat dari keragaman dalil. Ini pada hakekatnya tidak dapat dikatakan sebagai perselisihan. Lebih tepat untuk dikatakan sebagai keragaman aturan syariat Islam dalam masalah tersebut. Perselisihan ini diistilahkan di kalangan para ulama dengan nama ikhtilaf tanawwu’.
Dari Ibnu Mas’ud z, beliau berkata:

سَمِعْتُ رَجَلاً قَرَأَ آيَةً سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ خِلاَفَهاَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْتُ لَهُ ذَلِكَ، فَعَرَفْتُ فِيْ وَجْهِهِ الْكَرَاهَةَ، وَقاَلَ: كِلاَكُماَ مُحْسِنٌ وَلاَ تَخْتَلِفُوْا فَإِنَّ مَنْ كاَنَ قَبْلَكُم اخْتَلَفُوْا فَهَلَكُوْا

“Aku mendengar seseorang membaca satu ayat, padahal aku mendengar Rasulullah n membaca berbeda dengan bacaannya. Maka aku memegang tangannya dan , lalu aku laporkan perkara itu kepadamembawanya menemui Rasulullah beliau. Aku melihat rasa tidak suka pada wajah beliau dan beliau bersabda: Kalian berdua telah benar dan janganlah berselisih, karena orang-orang sebelum kalian berselisih sehingga mereka binasa.” (HR. Al-Bukhari no. 2410)
Demikianlah yang dapat kami tuliskan di sini. semoga bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Yang benar datangnya dari Allah k, sedangkan yang salah datangnya dari kami dan setan. Karenanya kami mohon ampun kepada Allah k.Wallahu a’lam.

Sumber bacaan:
Al Qur`an
Tafsir Ibnu Katsir t
Mukhtashar Ash-Shawa’iqil Mursalah karya Muhammad Al-Mushili t
Al-I’tisham karya Asy-Syathibi t tahqiq Salim Al-Hilali
Shifat Shalat Nabi karya Asy-Syaikh Al-Albani t
Zajrul Mutahawin karya Hamd bin Ibrahim Al-Utsman t
Tahdzib Al-Muwafaqat karya Muhammad bin Husain Al-Jizani


www.asysyariah.com

Selasa, 03 November 2009

Salah kaprah dalam memahami "ukhuwah"

Musuh Islam tidak hanya membunuh, membantai dan memerangi kaum muslim, tetapi mereka juga mempunyai sindikat yang rapi namun menjijikkan. Mereka merekrut tokoh atau yang ditokohkan dari kalangan umat Islam untuk dididik di negeri mereka. Setelah dicekoki dengan syubhat dan pemikiran sesat, dengan rasionalisasi ajaran Islam dan dengan memberi hadiah titel serta janji dikembalikkanlah sang tokoh ini ke negara asalnya untuk menyesatkan saudara-saudaranya.

Sindikat ini bisa jadi lebih sadis daripada pembunuhan dan pembantaian, karena mungkin saja yang mereka bunuh masih bisa mempertahankan aqidah dan tauhidnya, tetapi penyesatan dan pemurtadan dari dalam bisa berakibat jutaan muslimin melepaskan agamanya tanpa mereka sadari.

Para tokoh yang menyandang beraneka gelar ini dengan leluasa mengelabuhi umat, bahkan ada yang dianggap wali dan dipertuhankan. Semua urusan diserahkan kepada mereka, apapun kata mereka akan menjadi pegangan awam. Salah satu istilah yang mereka kedepankan adalah “umat Islam itu bersaudara”, dengan mencomot surat Al-Hujurat ayat 10.

Istilah yang mereka pinjam ini memang indah dan benar karena itu Kalamullah, tetapi mereka ingin menyesatkan umat dengan kalimat haq ini. Para tokoh penyesat umat yang ingin mendapat pujian dari orang Yahudi, Nasrani dan antek-anteknya, mereka mengatakan, “Orang Islam harus bersaudara dengan orang Yahudi dan Nasrani, karena agama mereka juga dari Alloh, karena para nabi bersaudara, mereka pun beribadah kepada Alloh . Lantaran itu kita harus jalin ukhuwah dengan mereka, maafkan bila mereka marah dan membantai kaum muslimin, mereka itu ’kan saudara! Perlu dinasihati dan diselesaikan dengan baik. Kaum muslimin tak usah menyinggung kesalahan dan kezhaliman mereka.”

Selanjutnya dari kalangan para da’i yang masih senang dengan bid’ah, kermusyrikan dan partai, agar bisa menggaet jama’ah dan agar tidak bubar, mereka berkomentar, “Tidak mengapa mereka mengamalkan bid’ah, syirik dan berpartai, yang penting kita jalin ukhuwäh islamiyah, karena mereka saudara kita. Tidak mengapa jalan yang mereka tempuh berbeda, ibaratkan pergi ke Jakarta, biarkan lewat pantura, atau pansela, yang penting sampai.”

Kata manis yang merusak ini disambut gegap gempita oleh sebagian umat karena yang bicara bukan lulusan SMU. Tetapi sebagian lagi bingung, kok begitu pemimpin kita?

Berikut ini jawabannya. :

Allah melalui FIRMAN-NYA :

Sesungguhnya orang;orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Alloh supaya kamu mendapat rahmat. (QS.Al-Hujurat: 10).

MAKNA UKHUWAH

Agar kita tidak salah dalam memahami makna ukhuwah dan tidak salah dalam penerapannya maka alangkah baiknya bila kita pelajari istilah Ini.

Kata ukhuwah menurut bahasa berasal dari “akhun” artinya berserikat dengan yang lain karena kelahiran dari dua belah pihak, atau salah satunya atau karena persusuan. Lalu kata ini dipakai untuk perserikatan, persaudaraan kabilah, agama, hubungan antar manusia, kasih sayang, dan keperluan lainnya. (Mufradat Alfazhil Qur’an, AlAllamah Ar-Raghib Al-Ashfahani, hal.68)

Atau dengan bahasa lain ukhuwah menurut bahasa ialah saudara sekandung, sebapak, seibu, atau saudara persusuan. Lalu digunakan istilah ini untuk kepentingan lain, persaudaraan antar negara, antar suku, kabilah, desa, partai, dan lainnya.

MACAM-MACAM UKHUWAH

Penggunaan istilah ukhuwah bukanlah hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin saja, tetapi dipakai pula untuk agama dan kebutuhan lain. Adapun macam ukhuwah yang disebutkan di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah sebagai berikut:

1. Persaudaraan keturunan

Misalnya saudara sekandung, sebapak, seibu, dan lainnya.

“Dan sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak anak, atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. (QS.Al-Mujadilah:22), lihat juga surat An-Nisa ayat 11- 13,176, Yusuf ayat 58)

2. Persaudaraan sepersusuan

“Dan saudara permpuan sepersusuàn.” (QS.An-Nisa:23)

3. Persaudaraan kaum muslimin

Seperti dalam surat Al-Hujurat ayat 10.

4. Persaudaran para utusan

Abu Hurairah berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Para nabi itu adalah saudara tiri ibu mereka berbeda, agama mereka satu, tidaklah sesudah kami ada nabi.” (HR.Muslim 4/1 837).
lbnu Taimiyah rohimahullah berkata, “Agama Alloh itu satu, adapun yang berbeda adalah syari’at dan manhaj.”

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (QS.Al-Maidah:48). Maka para utusan adalah satu agama, satu keyakinan dan amalan.” (Lihat Fatawa lbnu Taimiyah 15/1 59).

Dari keterangan lbnu Taimiyah Rohimahullah ini, tidaklah diterima keislaman orang Yahudi dan Nasrani melainkan harus mengikuti Islam yang dibawa oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam .

5. Persaudaraan setan

Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya. (QS.Al-lsra’:27)

6. Persaudaraan orang munafik

Orang-orang yang mengatakan kepada saudarasaudaranya dan mereka tidak turut pergi berperang: “Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh.” (QS.AIi lmran:168).

Ayat ini turun sehubungan perkataan tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul dan kawan kawannya. (Lihat Tatsir lbnu Katsir 1/426, Tatsir Ad-Durul Mantsur 6/27)

7. Persaudaran orang kafir

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka….” (QS.Ali lmran:1 56)

Berkata Al-Raghib Al-Asfahani, “Mereka dikatakan bersaudara karena berserikat dan bersahabat dalam kekufuran.” (Mufradat Altazhil Qur’an hal.68).

8. Persaudaraan ahli Kitab

“Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahil Kitab.” (QS.Al-Hasyr:11)

Karena itu jangan berkawan dengan orang munafik dan ahli kitab, bahayanya lebih besardan tidak ada manfaatnya.

9. Persaudaraan anak yatim

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu.”" (QS.Al-Baqarah:220)

Dan keterangan diatas jelaslah bahwa penggunaan istilah ukhuwah bukanlah hanya untuk umat Islam yang Ahli Sunnah saja.

MAKNA ORANG MUKMIN BERSAUDARA

Banyak orang mengaku dirinya muslim dalam rangka melancarkan misi kezhalimannya. Mereka mengatakan bahwa orang mukmin bersaudara di dalam surat Al-Hujurat ayat-10 di atas, adalah umum termasuk orang Yahudi dan Nasrani dan semua orang muslim tanpa pandang bulu, dengan alasan mereka juga beriman kepada Alloh. Untuk menjawab kedustaan ini akan kami sampaikan komentar ahli tafsir dari para ulama yang mu’tabar.

lbnu Taimiyah Rohimahullah berkata, "Ukhuwah di sini adalah ukhuwah sesama mukmin, karena orang mukmin disifati oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam :

“Perumpamaan orang mukmin di dalam kasih sayang mereka, belas kasihan mereka, kelembutan mereka seperti satu badan. (HR.Muslim 4687; lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 3/419)”.

Imam Abu Abdillah Al-Qurthubi berkata, “Persaudaraan di dalam ayat ini ialah persaudaraan seagama, karena kemuliaan bukanlah terletak pada keturunan.” (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 16/322) .

lbnu Jarir At-Thabari berkata, “Allah menjelaskan bagi orang yang beriman kepada-Nya, bahwa orang mukmin itu bersaudara karena agamanya, maka hendaknya mereka memperbaiki saudaranya bila mereka bertengkar dan hendaknya meluruskan mereka dengan hukum Alloh dan Rasulullah” (Tatsir Jami’ul Bayan fi Tat sirit Qur’an 26/66).

Imam Syafi’i berkata, “Ayat ini menunjukkan putus hubungan antara orang mukmin dengan orang kafir, demikian pula dalil Sunnah memberi hukum yang sama.” (LihatAhkamul Qur’an 1/273)

Abu Hanifah berkata, “Kata ukhuwah itu umum, kadangkala untuk ukhuwah Islamiyah seperti surat AlHujurat ayat 10.” (Lihat Al-Mabsuth oleh As-Sarakhsi 7/ 68 )

Muharriad binAbi BakarAyyub Az-Zar’i berkata, “Ukhuwah pada ayat ini adalah khusus untuk kaum muslimin seperti yang disebutkan di dalam surat At Taubah ayat 71”

Adapun sebutan ukhuwah lslamiyah, bukan sekedar cukup dia muslim, tanpa rnemperhatikan kriterianya. Tetapi dia harus ahli tauhid, ahli ibadah sesual dengan Sunnah dan orang yang bertaubat. Alloh berfirrnan:

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” (QS.At-Taubah:11).

Alloh melarang kita mengambil teman orang Islam yang mereka lebih cenderung kepada kekufuran daripada Iman. Lihat suratAt-Taubah ayat 23.

Jika orang Islam memiliki sifat di atas, mereka adalah saudara kita, harus kita jalin ukhuwah lslamiyah, walaupun kita belum pemah jumpa atau lain bangsa dan negara.

“Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama.” (QS.Al-Ahzab:5)

BATASAN UKHUWAH ISLAMIYAH

Memang benar bahwa umat Islam satu sama – lain bersaudara, hendaknya saling kasih sayang, bantu membantu, saling menghormati satu sama lain sebagaimana disebutkan di dalam hadits. Tetapi prinsip ini bukan berarti mutlak tanpa ada taqyid atau batasan, sehingga apa yang mereka kerjakan harus didukung dan dibantu, bahkan dipuji dan disanjung.

Sebab bila prinsip ini kita terima, tentu kita akan menolak nahi mungkar sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok manusia yang menamakan dirinya juru dakwah. Mereka biarkan kemungkaran, yang penting ajak manusia untuk shalat jama’ah. Tidak mengapa mereka berbuat syirik, menyembah kuburan, jin, dan kyai yang penting mereka golongan atau partai kita. Prinsip ini seperti orang yang menanam padi yang penting dipupuk, tidak perlu ada pemberantasan hama penyakit. Petani yang akalnya sehat tentu akan menolak pemikiran amburadul ini, maka bagaimana dengan tugas da’i yang intinya mengajak insan agar beribadah kepada Alloh Tabaroka wa Ta’ala dan menjauhi kemusyrikan?

Adapun batasan yang harus kita perhatikan untuk menjalin ukhuwah lslamiyah sesama kaum muslimin sebagai berikut:

1. Bila dakwah mereka menyeru tauhid dan memberantas kemusyrikan.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Alloh (saja), dan jauhilah thaghut itu.”" (QS.An-Nahl:36)

Ketauhilah bahwa dakwah tauhid adalah dakwah yang menjalin ukhuwah lslamiyah, karena makna tauhid adalah menyatukan pandangan hidup dan mempersatukan Umat.

2. Bila mereka menghidupkan Sunnah Nabi dan memberantas bid’ah

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mewajibkan semua kaum muslimin agar berpegang kepada Sunnah dan menjauhi bid’ah.

lrbadh bin Sariyah rodhiallahuanhu berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

“Maka wajlb bagimu (hai umatku!) berpegang kepada Sunnahku dan sunnah sahabat yang mendapatkan petunjuk dan yang menyampaikan petunjuk, berpeganglah dengan Sunnah ini, dan gigitlah dengan gigi gerahammu, dan jauhilah perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.lbnu Hibban 1/179, Shahih, AlMustadrak ala Shahihain 1/174, Tirmidzi 5/44, Ad-Darimi 1/57, lbnu Majah 1/15, Ahmad 4/126)

3. Bila memberantas perpecahan dan mengajak bersatu (tidak berpartai-partai atau bergolongan), kembali kepada ulama salaf

“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Alloh, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka (QS.ArRum:31-32); dan lihatsuratAli Imran ayat 103.

4. Bila mereka tidak kerja sama dengan orang kafir dan musyrik

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman teman setia. (QS.Al-Mumtahanah:1) dan lihat kisah Nabi Ibrahim yang menolak berteman dengan orang kafir dan musyrik (QS.Al-Mumtahanah:4).

5. Bila mereka tidak berwala’ (loyal) kepada ahli kitab

“Hai orang-orang yang beriman, janganiah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pmimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain.” (QS.Al-Maidah:51)

6. Bila mereka menghormati ulama Sunnah dan memusuhi orang yang melecehkannya.

Ulama Sunnah adalah waliyullah, wajib kita muliakan karena Alloh memuliakannya sebagaimana disebutkan di dalam surat Fathir ayat 28.

Abu Hurairah RodhiAllahuanhu berkata, Rasulullah bersabda;

“Alloh berfirman: Barangsiapa yang memusuhi waliku, maka sungguh Aku maklumkan perang kepadanya. (HR.Bukhari 5/2384). Abdur Ra’uf Al-Munawi berkata, “Alloh akan memerangi mereka, seperti halnya disebut di dalam surat Al-Baqarah ayat 279” (Faidhul Qadir 2/241)

Adapun yang dinamakan waliyullah bukanlah wali tukang sihir dan sulap, yaitu walinya orang ahli bid’ah dan musyrik, tetapi orang yang beriman dan bertaqwa kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala sebagaimana disebutkan di dalam surat Yunus ayat 62-63.

Karena itu waspadalah dengan kelompok hizbi yang mengatakan bahwa ulama salaf adalah ulama haidh atau nifas atau ulama anti partai. Jika anda tidak mampu memeranginya sebagaimana Alloh memerintahnya, maka tinggalkan mereka. Lihat surat Al-An’am ayat 68.

7. Bila mengembalikan semua perselisihan kepada Al-Qur’an dan Sunnah

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. (QS.An-Nisa’:59)

Jika mereka mengembalikan persoalan yang mestinya dikembalikan kepada hukum Alloh dan RasulNya, lalu dikembalikan kepada tokohnya atau pimpinan golongannya, ketahuilah mereka itu menjalin ukhuwah partai atau golongan.

8. Bila wasa’il (sarana) dakwah mereka tauqifiyah.

Dakwah islamiyah merupakan amalan yang paling mulia yang bermanfaat untuk pribadi dan umat. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , telah membimbing kita berdakwah selama 23 tahun dengan situasi dan kondisi yang berbeda dan beraneka corak manusia. Beliau dijadikan sebagai suri tauladan yang paling baik dan telah berhasil berdakwah sebagaimana disebutkan di dalam surat Al-Ahzab ayat 21 dan Al-Mumtahanah ayat 6.

Maka barangsiapa yang menjadikan metode dakwahnya ijtihadiyah artinya terserah keinginannya masing-masing, berarti mereka mengaku lebih pandai daripada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan menganggap dienul Islam belum sempurna, atau Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengkhianati risalah Alloh Tabaroka wa ta’ala sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik.

9. Bila tidak menyenangi orang yang lebih suka menentang hukum Alloh dan Rasul-Nya

“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan RasulNya.” (QS.AI-Mujadilah:22)

10. Ridha berhukum dengan hukum Alloh

“Dan tidaklah patut bagi laki -laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. (QS.Al-Ahzab:36)

lnilah sebagian sifat dan batasan ukhuwah lslamiyah agar hubungan kita tetap baik dan diridhai oleh Alloh Subhanahu wa ta’ala dan terhindar dari perpecahan

MAKNA UKHUWAH YANG KELIRU

Bila kita melihat kenyataan umat dengan kacamata ilmu dienul Islam, kita akan melihat banyak kelompok yang menamakan dirinya pemersatu umat, tapi sebaliknya merusak ukhuwah lslamiyah. Misalnya:

1. Kaidah “yang penting tujuannya baik”

Ada yang berpendapat untuk menjalin ukhuwah lslamiyah memakai kaidah “yang penting tujuannya baik, tidak mengapa caranya berbeda”. Prinsip ini ibarat hati tanpa jasad, sebab syarat diterima amal ibadah adalah ikhlas karena Alloh dan mengikuti Sunnah Rasulullah .

“Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hndaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah.” (QS.Al-Kahfi:110)

Ibnu Katsir berkata, "Hendaklah Ia mengerjakan amal yang shalih artinya sesuai dengan syari’at Alloh Tabaroka wa ta’ala.

“Adapun makna janganlah Ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah, yaitu ikhlas mencari ridha Alloh Subhanahu wa ta’ala dan tidak menyertakan niat selain kepada-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsin 3/109) .

2. Yang penting hasilnya

Pninsip yang penting hasilnya, adalah prinsip orang kafir dan hewan.

Dan orang-orang yang kafir itu bensenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. (QS.Muhamad:12) .

Orang yang punya prinsip ini akan menghalalkan segala cara seperti onang kafir dan hewan, karena tolok ukur mereka yang penting berhasil, bahkan boleh jadi mencemooh cara yang haq kanena dianggap menghambat keberhasilan.

3. Berpegang umumnya orang.

Misalnya menjalin ukhuwah dengan mengadakan peringatan maulid nabi, drum band, dzikir bersama adalah budaya yang telah memasyarakat.

Cara ini bukanlah cara untuk menjalin ukhuwah Islamiyah, tetapi menjauhkan umat dan yang haq dan mengajak umat berpecah-belah, kanena masing masing golongan ingin membanggakan dirinya dan merendahkan kelompok yang lain. Prinsip ini layak diberi nama “ukhuwah hiburan!” atau bid’ah.

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-onang yang di muka bumi ini niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (QS.Al-An’am:116)

4. Menjalin ukhuwah dengan mendirikan partai atau golongan (atau diatas satu partai/golongan)

Ini pun keliru, karena apabila umat diajak kepada golongan atau partai berarti hilang ukhuwah dan ganti “adawah” (permusuhan). Kenyataannya demikian! Karena itu ketika sahabat Muhajirin bertengkar dengan sahabat Anshar, seraya berteriak, “Hai orang muhajirin, tolonglah aku” dan sebaliknya, Rasulullah segera keluar dan bersabda, Mengapa memanggil dengan panggilan jahillyah… Tinggalkan, karena itu keji. HR.Bukhari 3/1296, Muslim 4/1198, lbnu Hibbani 3/330, Ahmad 3/385, dan lainnya).

5. Cari persamaan dan jangan cari perbedaan .

Inilah kaidah hizbi, ingin mewujudkan ukhuwah lslamiyah dengan mencari kesamaannya dan mendiamkan kemungkaran.

Syaikh lbnu Baz berkata, “Betul, kita wajib bekerja sama dalam hal yang kita sepakati untuk membela dan mendakwakan kebenaran serta mentahdzir yang menjadi larangan Alloh Subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,. Adapun hendaknya kita memberikan udzur dan membiarkan perselisihkan secara mutlak tidaklah bisa diterima, tetapi wajib dilihat: jika berkenaan dengan masalah ijtihadiyah yang samar dalilnya, maka kita wajib memakluminya. Adapun perkara yang menyelisihi Kitab dan Sunnah, maka kita wajib mengingkarinya dengan hikmah, dengan keterangan yang baik, dan membantah dengan cara yang baik pula. Perhatikan surat AI-Maidah ayat 2 dan At-Taubah ayat 71.” (Lihat Kitab min Aqwali Samahati Syaikh Ibni Baz fid Da’wah hal.93)

6. Jangan menentang arus

Ada lagi yang berpendirian bahwa untuk menjaga keutuhan ukhuwah Islamiyah, jangan menyinggung perasaan umat, bangkitkan semangat mereka agar tetap menerima Islam. Lalu mereka berdalil dengan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : “Mudahkanlah dan jangan dipersulit, gembirakanlah dan jangan dibuat-lari.” (HR.Bukhari 1/38, Muslim 3/1359, dan Iainnya)

Prinsip ini menolak perintah Alloh yang mengharuskan ingkar mungkar sebagaimana disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 71 yang itu merupakan ciri khas orang mukmin.

Prinsip ini juga bertabrakan dengan ketetapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang mengharuskan mengubah kemungkaran yang menyalahkan dakwah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam karena menyinggung perasaan umat dan membuat resah.

Dalil di atas memang benar, tapi salah penerapan, semisal orang yang ditegur jangan shalat di kuburan, lalu dia berdalil:

“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat.” (QS.AlAIaq: 9-10); padahal ayat ini ditujukan untuk orang kafir Quraisy yang menghalangi beliau shalat di Masjidil Haram, tetapi dipinjam oleh ahli bid’ah untuk menggaet pengikutnya.

7. Orang Yahudi dan Nasrani adalah saudara.

Orang yang mengatakan bahwa umat Islam harus menjalin ukhuwah dengan orang Yahudi dengan alasan mereka juga memeluk agama Islam, karena Islam artinya menyerah kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala. Ketahuilah dia itu orang yang digaji oleh orang Yahudi untuk merusak Islam.

Pada zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. ada orang Yahudi yang mengaku dirinya muslim, lalu dibantah oleh beliau, "Kalau kamu mengatakan muslim, tunaikan ibadah haji!’ Mereka menjawab, “Kami tidak diwajibkan haji, bahkan menolak.”

Alloh berfirman:

“Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”(OS-Au lmran:97) (Lihat Tafsir lbnu Katsir 1/387) .

Maksudnya orang yang menolak kewajiban haji dia adalah kafir seperti orang Yahudi dan Nasrani. Dan bukti kekufuran Yahudi dan Nasrani, lihat surat Al-Baqarah:109-l20 dan lainnya.

8. Menjalin ukhuwah dengan ahlul bid’ah dan orang musyrik

Ada yang berkata, “Tidak mengapa mereka menjalankan bid’ah dan syirik, karena mereka juga beribadah, jika mereka keliru, kita pun keliru.”

lnilah prinsipnya orang jahil, tidak mau tahu tentang batalnya amal dan gugurnya Islam. Barangkali kalau dia mendengar cerita bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib RadhiAllahu anhu nembakar orang Syi’ah yang menuhankan beliau, dan memerangi orang Khawarij, padahal mereka ahli membaca Al-Qur’an, khusyuk shalatnya bahkan mereka ikut jihad . Bersabar bila kena musibah atau dimusuhi karena mungkin mereka tidak percaya atau menolak.

“Orang musyrik adalah musuh Alloh Subhanahu wa ta’ala , wajib dijauhi sebagaimana perintah-Nya : "Dan beipalinglah dari orang-orang yang musyrik(QS.Al Hijr:94).

Ahlul bid’ah (yang telah tegak hujjah diatasnya, dan masih menentang) pun wajib dijauhi. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Barang siapa yang membuat cara ibadah baru, atau membantu orang yang menjalankan Bid’ah, maka dia mendapat laknat dari Allah Subhanahu wa ta’ala, malaikat dan semua manusia. ( HR Bukhari 3/1160, Ibnu Hibban 9/32, Abu Dawud 2/216 )

CARA MENJALIN UKHUWAH ISLAMIYAH.

Adapun cara menjalin ukhuwah lslamiyah sesuai dengan Sunnah insya Alloh sebagai berikut:

a. Semua aktivitas hendaknya bertujuan ikhlas mencari ridha Alloh. Lihat surat Al-Bayyinah:5
b. Mengikuti manhaj atau cara yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam . Lihat surat Ali ‘lmran:85
c. Menjauhi cara baru, utamanya metode dakwah yang tidak dicontohkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , karena kullu bid’atin dhalalah (semua bid’ah sesat), dan karena cara baru memecah-belah umat.
d. Tolong menolong didalam hal kebaikan dan taqwa, utamanya memerintahkan yang baik, dan kerja sama memberantas kemusyrikan, bid’ah, dan kemaksiatan. Lihat surat Al-Maidah:2
e. Bukan hanya pandai menasihati, tetapi juga menerima nasihat. Lihat surat Al-Ashr:3
f. Bersabar bila kena musibah atau dimusuhi karena membela Sunnah. Lihat Surat Luqman : 17
g. lstiqamah berpegang Sunnah, utamanya pada waktu muncul fitnah . Lihat Surat Hud:112
h. Berdakwah untuk memperbaiki bukan merusak. Lihat surat Al-A’raf:85.
i. Menerima islah menurut Sunnah bila diperlukan.
j. Mengembalikan semua perselisihan kepada nash Al-Qur’an atau Sunnah shahihah. Lihat surat An- Nisa’:49
k. Mendahulukan Al-Qur’an dan Sunnah untuk memutuskan segala perkara. Lihat Al-Hujurat:1
l. Mengasihi mad’u (objek dakwah) dengan – meluruskan kesalahannya, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang pengasih akan dikasihi Alloh. Kasihilah penduduk bumi, niscaya kamu akan dikasihi oleh Dzat yang di langit (HR.Tirmidzi 4/323, Abu Dawud 4/285 Ahmad 21160) dan lainnya. Hadits shahih dan Abdullah bin Amr Rodhiallahuanhu”.
m. Menafsirkan ayat dan sunnah sesuai dengan pemahaman salaful umah, seperti pemahaman sahabat, tabi’in, ahli hadits, fiqh, dan ahli tafsir. Lihat surat At-Taubah ayat 100.
n. Bersatu mengibarkan bendera Sunnah . Lihat surat Al-Ahzab ayat 21.
o. Menelaah kitab dan fatwa ulama salaf masa lalu dan sekarang utamanya menghadapi masalah ijtihadiyah, manhaj dakwah dan lainnya.
p. Menghormati ulama salaf dan membetulkan kesalahannya.

Berikutnya menjauhi pemahaman ukhuwah yang keliru dan memperhatikan batas ukhuwah sebagaimana diterangkan di atas. Akhimya man kita wujudkan ukhuwah islamiyah bergabung dengan salafiyin ahli rahmah.

Allahu ta’ala a’lam bish showab.

Ditulis: Al-Ustadz Aunur Rafiq bin Ghufran
Judul Asli: Ukhuwah islamiyah atau Hizbiyah ?
Sumber : Majalah Al Furqon Edisi 2 Tahun V Ramadhan 1426